Mengangkat kembali peristiwa Perang Bubat itu dalam jalinan kisah yang memukau, filmis, dan asyik.
Perang Bubat adalah peristiwa sejarah yang menjadi kontroversi di antara budaya Sunda dan Jawa, dan melahirkan berbagai prasangka di antara keduanya.
Mengapa rombongan Kerajaan Sunda yang datang ke Bubat, Majapahit, untuk mengantar Putri Dyah Pitaloka menjadi istri Prabu Hayam Wuruk, diserang pasukan Majapahit yang bersenjata lengkap? Peran Mahapatih Gajah Mada dalam tragedi itu juga menjadi bahan perdebatan. Apakah insiden itu disebabkan ambisinya untuk menyempurnakan Sumpah Palapa dengan menaklukkan Sunda? Ataukah ia sebenarnya hanya dikambinghitamkan oleh orang-orang yang dengki atas ketenarannya? Benarkah sesungguhnya di antara Dyah Pitaloka dan Gajah Mada pernah terjalin hubungan asmara?
Berbagai sumber sejarah memberikan versi yang berbeda tentang kejadian tersebut. Penulis novel ini, seorang pemerhati sejarah Sunda, menggali sumber-sumber sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah, mulai dari Bandung selatan, Garut, Lawang Sumber di tepian Kota Surabaya, hingga ke Bubat di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Hasilnya adalah kisah Perang Bubat yang sangat berbeda dari versi yang selama ini kita ketahui dari sejarah resmi.
Inilah kisah Perang Bubat yang sangat berbeda dari versi yang selama ini kita ketahui dari sejarah resmi.
Mengapa rombongan Kerajaan Sunda yang datang ke Bubat, Majapahit, untuk mengantar Putri Dyah Pitaloka menjadi istri Prabu Hayam Wuruk, diserang pasukan Majapahit yang bersenjata lengkap? Peran Mahapatih Gajah Mada dalam tragedi itu juga menjadi bahan perdebatan. Apakah insiden itu disebabkan ambisinya untuk menyempurnakan Sumpah Palapa dengan menaklukkan Sunda? Ataukah ia sebenarnya hanya dikambinghitamkan oleh orang-orang yang dengki atas ketenarannya? Benarkah sesungguhnya di antara Dyah Pitaloka dan Gajah Mada pernah terjalin hubungan asmara?
Berbagai sumber sejarah memberikan versi yang berbeda tentang kejadian tersebut. Penulis novel ini, seorang pemerhati sejarah Sunda, menggali sumber-sumber sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah, mulai dari Bandung selatan, Garut, Lawang Sumber di tepian Kota Surabaya, hingga ke Bubat di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Hasilnya adalah kisah Perang Bubat yang sangat berbeda dari versi yang selama ini kita ketahui dari sejarah resmi.
Inilah kisah Perang Bubat yang sangat berbeda dari versi yang selama ini kita ketahui dari sejarah resmi.
DOWNLOAD_Niskala_Gajah Mada musuhku
Judul buku: Niskala
Penulis: Hermawan Aksan
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: 289 hlm
Penulis: Hermawan Aksan
Penyunting: Imam Risdiyanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: 289 hlm
Tidak mudah memadukan fakta sejarah dengan fiksi dan tak banyak penulis yang mampu melakukannya dengan baik. Salah satu yang terbaik, siapa lagi kalau bukan, Pramoedya Ananta Toer. Lihat saja bagaiman ia dengan piawainya menghaturkan sejarah kerajaan Singasari lewat novel Arok-Dedes. Kisah kerajaan Mataram melalui tuturan memikat dalam buku gemuk Arus Balik. Dan tentu masterpiece-nya Bumi Manusia , episode awal tetraloginya itu, yang menyoal riwayat hidup Raden Mas Adi Suryo, tokoh pers pertama Indonesia.
Di belakang Pram, ada banyak lagi penulis fiksi sejarah yang cukup rajin dan konsisten dengan jalur yang dipilihnya, antara lain: Remy Sylado, Langit Kresna dengan serial Gajah Mada-nya serta Hermawan Aksan. Nama yang terakhir ini, sama halnya dengan Langit Kresna, menuliskan kembali riwayat Gajah Mada hanya dengan perspektif yang berbeda. Hermawan Aksan mengambil sudut pandang dari Kerajaan Sunda lewat kisah dramatis Dyah Pitaloka yang konon bunuh diri di padang Bubat saat rombongannya dicegat dan dibantai oleh pasukan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada. Persitiwa tersebut kemudian kita kenal sebagai Perang Bubat; perang yang menimbulkan luka sejarah di antara orang Sunda dan Jawa. Bekasnya masih terus mengabadi hingga kini. Sampai-sampai di Bandung serta kota-kota Jawa Barat lainnya tidak terdapat jalan yang memakai nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
Cerita Perang Bubat itu ada dalam novel Dyah Pitaloka yang ditulis Hermawan pada 2005. Rupanya penulis yang juga wartawan Tribun Jabar ini tidak puas hanya sampai di perang Bubat. Ia kemudian melanjutkannya dalam novel terbarunya, Niskala dengan tambahan subjudul Gajah Mada Musuhku (kenapa juga harus ada tambahan judul ini?)
Niskala adalah nama adik lelaki Dyah Pitaloka yang sewaktu ditinggal pergi kakaknya itu baru berusia 9 tahun. Kematian ayahanda dan kakaknya semata wayang di tegal Bubat akibat ulah Gajah Mada diam-diam telah menyemaikan benih dendam dalam hati bocah kecil itu yang tujuh tahun kemudian bertekad membalaskannya.
Maka, Niskala yang memiliki nama kecil Anggalarang itu pun berangkatlah menuju Majapahit guna menantang duel sang mahapatih perkasa Gajah Mada. Kisah selama perjalanannya inilah yang dituturkan bagai cerita silat oleh Hermawan yang sangat terkesan pada kisah Panji Tengkorak (Hans Jaladara) serta Nagasasra dan Sabuk Inten (S.H. Mintardja). Sebenarnya menarik andai saja Hermawan bisa menghindar dari pengulangan-pengulangan adegan perkelahian yang terasa monoton.
Jika mesti membandingkan dengan novel pertamanya, saya lebih suka yang pertama. Pada Dyah Pitaloka selain unsur sejarahnya lebih pekat, juga gagasan yang disampaikannya lebih dalam : mendekonstruksi citra Gajah Mada yang selama ini kondang sebagai figur pahlawan dalam novel tersebut berbalik menjadi si biang keladi yang culas. Sementara itu, Niskala hanya bertumpu pada upaya pembalasan dendam.
Jelas novel Niskala ini lebih banyak kandungan fiksinya ketimbang fakta sejarahnya. Maka, kelirulah kalau kita menjadikannya sebagai acuan sejarah, karena meskipun di dalamnya terdapat nama dan peristiwa yang bersangkutan erat dengan riwayat Majapahit serta Kerajaan Sunda yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi itu, akhirnya hanya sebagai "tempelan" saja demi memperkuat lakon. Namun, itu toh sah-sah saja dalam sebuah karya fiksi, bukan?***(Sumber:BlogPerca)